Benarkah Ibnu Taimiyyah Membolehkan Maulid Nabi?
Yusuf Abu Ubaidah As Sidawi
Sebagian kalanga berhujjah dengan ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah untuk menilai bahwa perayaan maulid nabi bukan perkara bidah munkarah sehingga kita harus lapang dada dan tidak perlu keras mengingkarinya.
Berikut teks ucapan beliau:
فَتَعْظِيْمُ الْمَوْلِدِ، وَاتِّخَاذُهُ مَوْسِمًا، قَدْ يَفْعَلُهُ بَعْضُ النّّاسِ، وَيَكُوْنًُ لَهُ فِيْهِ أَجْرٌ عَظِيْمٌ لِحُسْنِ قَصْدِهِ، وَتَعْظِيْمِهِ لِرَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم
Mengagungkan maulid dan menjadikannya sebagai perayaan, bisa jadi dilakukan oleh sebagian manusia dan dia mendapatkan pahala yang besar karena niatnya yang baik dan pengagungannya kepada Rasulullah.(Iqtidho’ Shirathil Mustaqim 2/12).
Jawaban:
1. Hendaknya diketahui oleh semua bahwa sikap Salafiyyun, Ahlus Sunnah terhadap Ibnu Taimiyyah sama halnya seperti sikap mereka terhadap para ulama lainnya, Mereka tidak taklid terhadap seorang pun dalam beragama seperti halnya perbuatan ahli bidah, mereka tidak mendahulukan pendapat seorang ulamapun -sekalipun ilmunya tinggi- apabila memang telah jelas bagi mereka kebenaran, mereka melihat kepada ucapan bukan orang yang mengucapkan, kepada dalil bukan taklid, mereka selalu mengingat ucapan Imam Darul Hijrah (Malik bin Anas): Setiap orang dapat di-terima dan ditolak pendapatnya kecuali penghuni kubur ini (Nabi Muhammad). (Ahkaamul Janaa-iz hal. 222 oleh al-Albani).
Beliau sendiri pernah berkata: Adapaun masalah Itiqod (keyakinan), maka tidaklah diambil dariku atau orang yang lebih besar dariku, tetapi diambil dari Allah, rasulNya dan kesepakatan salaf umat ini, keyakinan dari Al-Quran harus diyakini, demikian juga dari hadits-hadits yang shohih. (Majmu Fatawa 3/157).
2. Memahami ucapan Ibnu Taimiyyah di atas harus dengan lengkap dari awal hingga akhir pembahasan, jangan hanya diambil sepenggal saja sehingga menjadikan kita salah paham.
وَكَمْ مِنْ عَائِبٍ قَوْلاً صَحِيْحًا
وَآفَتُهُ مِنَ الْفَهْمِ السَّقِيْمِ
Betapa banyak pencela ucapan yang benar
Sisi cacatnya adalah pemahaman yang dangkal. (Diwan al-Mutanabbi hal. 232)
Ibnu Taimiyyah berkata: “Kesalahan itu apabila karena jeleknya pemahaman pendengar bukan karena kecerobohan pengucap bukanlah termasuk dosa bagi pembicara, para ulama tidak mensyaratkan apabila mereka berbicara agar tidak ada seorangpun yang salah paham terhadap ucapan mereka, bahkan manusia senantiasa memahami salah ucapan orang lain tidak sesuai dengan keinginan mereka. (Al-Istighosah fir Raddi ‘ala al-Bakri 2/705).
3. Bagaimana dikatakan Ibnu Taimiyyah mendukung dan membolehkan perayaan maulid, sedangkan beliau sendiri yang mengatakan: Adapun menjadikan suatu perayaan selain perayaan-perayaan yang disyariatkan seperti sebagian malan bukan Rabiul Awl yang disebut malam kelahiran Nabi atau sebagian malam Rojab atau tanggal delapan Dzulhijjah atau awal jum;at bulan Rojab atau delapan syawal yang disebut oleh orang-orang jahil sebagai Ied al-Abror, semua itu termasuk bidah yang tidak dianjurkan oleh salafus shalih dan tidak mereka lakukan. (Al-Fatawa al-Kubro 4/414).
4. Maksud Ibnu Taimiyyah dalam ucapannya di atas bukan berarti membolehkan perayaan maulid, tetapi hanya mengatakan bahwa bisa jadi orang yang merayakan maulid itu diberi pahala karena niatnya yang bagus yaitu mencintai Nabi. Baiklah agar kita memahami ucapan Ibnu Taimiyyah dengan bagus, kami akan nukilkan teksnya berikut terjemahannya :
وَكَذَلِكَ مَا يُحْدِثُهُ بَعْضُ النَّاسِ، إِمَّا مُضَاهَاةً لِلنَّصَارَى فِي مِيْلاَدِ عِيْسَى عليه السلام، وَإِمَّا مَحَبَّةً لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم، وَتَعْظِيْمًا. وَاللهُ قَدْ يُثِيْبُهُمْ عَلَى هَذِهِ الْمَحَبَّةِ وَالاجْتِهَادِ، لاَ عَلَى الْبِدَعِ مِنِ اتِّخَاذِ مَوْلِدِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم عِيْدًا مَعَ اخْتِلاَفِ النَّاسِ فِيْ مَوْلِدِهِ. فَإِنَّ هَذَا لَمْ يَفْعَلْهُ السَّلَفُ، مَعَ قِيَامِ الْمُقْتَضِيْ لَهُ وَعَدَمِ الْمَانِعِ مِنْهُ لَوْ كَانَ خَيْرًا. وَلَوْ كَانَ هَذَا خَيْرًا مَحْضًا، أَوْ رَاجِحًا لَكَانَ السَّلَفُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ أَحَقَّ بِهِ مِنَّا ، فَإِنَّهُمْ كَانُوْا أَشَدَّ مَحَبَّةً لِرَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَتَعْظِيْمًا لَهُ مِنَّا، وَهُمْ عَلَى الْخَيْرِ أَحْرَصُ .
وَإِنَّمَا كَمَالُ مَحَبَّتِهِ وَتَعْظِيْمِهِ فِيْ مُتَابَعَتِهِ وَطَاعَتِهِ وَاتِّبَاعِ أَمْرِهِ، وَإِحْيَاءِ سُنَّتِهِ بَاطِنًا وَظَاهِرًا، وَنَشْرِ مَا بُعِثَ بِهِ، وَالْجِهَادِ عَلَى ذَلِكَ بِالْقَلْبِ وَالْيَدِ وَاللِّسَانِ. فَإِنَّ هَذِهِ طَرِيْقَةُ السَّابِقِيْنَ الأَوَّلِيْنَ، مِنَ الْمُهَاجِرِيْنَ وَالأَنْصَارِ، وَالَّذِيْنَ اتَّبَعُوْهُمْ بِإِحْسَانٍ .
“Demikian pula apa yang diada-adakan oleh sebagian manusia, bisa jadi untuk menyerupai orang-orang nashoro dalam kelahiran Isa dan bisa jadi karena cinta kepada Nabi dan pengagugan kepada beliau. Dan Allah bisa jadi memberikan pahala kepada mereka karena sebab kecintaan dan semangat, bukan karena bidah menjadikan kelahiran nabi sebagai perayaan padahal ulama telah berselisih tentang (tanggal) kelahirannya. Semua ini tidak pernah dikerjakan oleh generasi salaf (Sahabat, Tabiin dan Tabiut Tabiin), karena seandainya hal itu baik, tentu para salaf lebih berhak mengerjakannya daripada kita. Karena mereka jauh lebih cinta kepada Nabi (, dan mereka lebih bersemangat dalam melaksanakan kebaikan. Sesungguhnya cinta Rasul adalah dengan mengikuti beliau, menjalankan perintahnya, menghidupkan sunnahnya secara zhahir dan batin, menyebarkan ajarannya dan berjihad untuk itu semua, baik dengan hati, tangan, ataupun lisan. Karena inilah jalan para generasi utama dari kalangan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan. (Iqtidha’ Shiratil Mustaqim 2/123-124]
Ini adalah penjelesan yang gamblang dari Ibnu Taimiyyah bahwa pahala orang yang merayakan maulid karena niatnya yang baik yaitu cintai kepada Nabi bukan berarti bahwa maulid itu disyariatkan, sebab seandainya itu disyariatkan tentu akan dilakukan oleh para salaf yang lebih cinta kepada Nabi daripada kita. Lebih jelas lagi beliau mengatakan : «Kebanyakan mereka yang bersemangat melakukan bidah-bidah seperti ini sekalipun niat dan tujuan mereka baik yang diharapkan dengan niatnya tersebut mereka diberi pahala, engkau dapati mereka malas dalam menjalankan perintah Rasulullah, mereka seerti seorang yang menghiasi mushaf tetapi tidak membacanya atau membaca tapi tidak mengikuti isi kandungannya, atau tak ubahnya seperti orang yang menghiasi masjid tetapi tidak sholat di dalamnya atau sholat tapi jarang. (ibid)
Dengan demikian, maka jelaslah bagi orang yang memiliki pandangan kesalahan orang yang menjadikan ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah di atas untuk mendukung perayaan maulid Nabi. (Lihat Hukmul Ihtifal bil Maulid Nabawi war Raddu ‘ala Man Ajazahu, Muhammad bin Ibrahim hlm. 46-50 dan al-Qolulul Fashl Ismail al-Anshori hlm. 513-517).